berikut ulasan selengkapnya:
Ulasan yang saya ambil dari http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/07/10/n8i1du-ini-beberapa-keanehan-quick-count-yang-menangkan-jokowi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti opini publik, Agung Prihatna mengungkap beberapa fenomena keanehan quick count (hitung cepat) yang menguntungkan pasangan Jokowi-JK. Dia membeberkan kronologis yang perlu mendapat sorotan.
Pertama, pada awal Juli 2014, ada pernyataan dari pihak capres nomor urut 2 bahwa ada indikasi kecurangan. Kedua, pada masa tenang ada tiga lembaga survei terkemuka, yaitu Charta Politica, SMRC, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang pimpinannya secara terbuka berafiliasi ke capres nomor urut 2, dengan mengumumkan Jokowi-JK unggul 3 persen dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Ketiga, pada hari pemilihan, kelompok lembaga survei tersebut, seperti CSIS-Cyrus Network, mengeluarkan hasil exit poll yang menyatakan capres nomor urut 2 unggul 3 persen dari capres nomor urut 1. Dia menyatakan, hasil quick count lembaga survei yang berafiliasi ke pasangan Jokowi-JK, seperti CSIS-Cyrus, SMRC, Litbang Kompas, dan RRI sama-sama mengungulkan dengan selisih 3 persen.
"Ini juga pertama kalinya ada pihak yang secara sepihak mengklaim kemenangan berdasarkan hasil quick count yang data masuk baru mencapai 70 persen. Yang bikin aneh pula, sekitar jam 15.00 WIB, data quick count sebesar 70 persen di luar logika," kata mantan peneliti LP3ES itu kepada wartawan, Kamis (10/7).
Menurut Agung, bukankah untuk menginformasikan sampel dari daerah pelosok Papua, Medan, Sumatra, dan pulau lainnya butuh waktu sekitar satu hingga tiga jam untuk melaporkan melalui pesan singkat (SMS) di area on spot (daerah yang terdapat sinyal). Hal itu mengingat tidak semua daerah yang kita tentukan sebagai zona sampling terdapat sinyal operator telepon selular.
"Katakanlah benar data masuk 70 persen selang dua jam setelah TPS ditutup pukul 13.00 WIB. Maka, kemungkinannya adalah sampel ditarik semua ke daerah perkotaan, sehingga sebenarnya nihil sampling dari desa/wilayah pelosok," kata perintis quick count di Pemilu 1997 itu.
Agung menyatakan, dalam berbagai momen pilkada biasanya yang terjadi adalah pengakuan dari pihak lain terhadap keunggulan pasangan lainnya. "Tidak pernah salah satu pihak melakukan klaim kemenangan berdasarkan hasil quick count," katanya.
Keanehan lain juga didapatkannya ketika melihat perkembangan beberapa hari sebelum Pilpres 9 Juli kemarin. Itu setelah Indobarometer, LSI, dan Charta Politica pada lima hari sebelum Pilpres menyatakan bahwa ada ‘lampu kuning’ bagi Jokowi jika keadaan terus begini karena trend terus menurun. Adapun, trend Prabowo terus naik. "Pada saat itu selisih Jokowi dengan Prabowo semakin dekat tinggal tiga persen."
Menjadi aneh, sambung dia, karena tiga hari setelah pernyataan tersebut, para lembaga survei yang berafiliasi dengan Jokowi-JK mengeluarkan pernyataan bahwa terjadi reboundelektabilitas. Artinya, dalam waktu tiga hari, mereka membuat pengakuan terjadi perubahan trend. "Padahal dalam logika survey trend itu tidak mungkin berbalik trendnya hanya dalam waktu dua sampai hari," katanya.
Catatan berikutnya, lanjut Agung, pihak Jokowi pada sepekan sebelum Pilpres sudah menyatakan bahwa kemenangan mereka akan sulit jika pihak lawan melakukan kecurangan. "Artinya mereka melakukan prakondisi bahwa di atas kertas mereka bisa kalah. Bahkan cawapres JK pernah menyatakan, bahwa pasangannya hanya akan kalah jika dicurangi," sebutnya.
Dia mengingatkan, gejala-gejala tersebut patut dicurigai sebagai upaya terencana untuk memenangkan pasangan yang diusung PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI itu dengan melakukan manipulasi survei sejumlah lembaga yang selama ini pro-Jokowi.
Ketiga, pada hari pemilihan, kelompok lembaga survei tersebut, seperti CSIS-Cyrus Network, mengeluarkan hasil exit poll yang menyatakan capres nomor urut 2 unggul 3 persen dari capres nomor urut 1. Dia menyatakan, hasil quick count lembaga survei yang berafiliasi ke pasangan Jokowi-JK, seperti CSIS-Cyrus, SMRC, Litbang Kompas, dan RRI sama-sama mengungulkan dengan selisih 3 persen.
"Ini juga pertama kalinya ada pihak yang secara sepihak mengklaim kemenangan berdasarkan hasil quick count yang data masuk baru mencapai 70 persen. Yang bikin aneh pula, sekitar jam 15.00 WIB, data quick count sebesar 70 persen di luar logika," kata mantan peneliti LP3ES itu kepada wartawan, Kamis (10/7).
Menurut Agung, bukankah untuk menginformasikan sampel dari daerah pelosok Papua, Medan, Sumatra, dan pulau lainnya butuh waktu sekitar satu hingga tiga jam untuk melaporkan melalui pesan singkat (SMS) di area on spot (daerah yang terdapat sinyal). Hal itu mengingat tidak semua daerah yang kita tentukan sebagai zona sampling terdapat sinyal operator telepon selular.
"Katakanlah benar data masuk 70 persen selang dua jam setelah TPS ditutup pukul 13.00 WIB. Maka, kemungkinannya adalah sampel ditarik semua ke daerah perkotaan, sehingga sebenarnya nihil sampling dari desa/wilayah pelosok," kata perintis quick count di Pemilu 1997 itu.
Agung menyatakan, dalam berbagai momen pilkada biasanya yang terjadi adalah pengakuan dari pihak lain terhadap keunggulan pasangan lainnya. "Tidak pernah salah satu pihak melakukan klaim kemenangan berdasarkan hasil quick count," katanya.
Keanehan lain juga didapatkannya ketika melihat perkembangan beberapa hari sebelum Pilpres 9 Juli kemarin. Itu setelah Indobarometer, LSI, dan Charta Politica pada lima hari sebelum Pilpres menyatakan bahwa ada ‘lampu kuning’ bagi Jokowi jika keadaan terus begini karena trend terus menurun. Adapun, trend Prabowo terus naik. "Pada saat itu selisih Jokowi dengan Prabowo semakin dekat tinggal tiga persen."
Menjadi aneh, sambung dia, karena tiga hari setelah pernyataan tersebut, para lembaga survei yang berafiliasi dengan Jokowi-JK mengeluarkan pernyataan bahwa terjadi reboundelektabilitas. Artinya, dalam waktu tiga hari, mereka membuat pengakuan terjadi perubahan trend. "Padahal dalam logika survey trend itu tidak mungkin berbalik trendnya hanya dalam waktu dua sampai hari," katanya.
Catatan berikutnya, lanjut Agung, pihak Jokowi pada sepekan sebelum Pilpres sudah menyatakan bahwa kemenangan mereka akan sulit jika pihak lawan melakukan kecurangan. "Artinya mereka melakukan prakondisi bahwa di atas kertas mereka bisa kalah. Bahkan cawapres JK pernah menyatakan, bahwa pasangannya hanya akan kalah jika dicurangi," sebutnya.
Dia mengingatkan, gejala-gejala tersebut patut dicurigai sebagai upaya terencana untuk memenangkan pasangan yang diusung PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI itu dengan melakukan manipulasi survei sejumlah lembaga yang selama ini pro-Jokowi.
sedangkan arah dan tujuan dari hal di atas dapat mengkerucut ke arah masalah seperti yang diberitakan pada Kompas.com dengan link: http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/07/10/21082731/jika.kpu.menangkan.prabowo.lembaga.survei.tuding.kpu.yang.salah
JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, yakin benar dengan hasil hitung cepat yang dilakukan lembaganya. Indikator menunjukkan kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan 52,95 persen, sementara Prabowo-Hatta hanya mendapat 47,05 persen.
Terlebih lagi, lanjut dia, banyak lembaga survei mainstream lain yang juga menunjukkan hasil serupa.
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (10/7/2014) sore.
Hadir dalam kesempatan itu perwakilan survei lainnya yang memenangkan Jokowi-JK, yakni Populi Center, Lingkaran Survei Indonesia, Litbang Kompas, Radio Republik Indonesia, Saiful Mujani Research and Consulting, dan Cyrus yang bekerja sama dengan Center for Strategic and International Studies.
Panitia acara mengatakan, lembaga survei yang memenangkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa juga diundang hadir, tetapi tidak ada yang datang. Lembaga tersebut ialah Puskaptis, Indonesia Research Center, Lembaga Survei Nasional, dan Jaringan Suara Indonesia.
"Kalau berbeda, hasil hitungan KPU pasti salah, dalam artian, ada proses kecurangan dari rekapitulasi, mulai dari tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat. Karena berjenjang seperti itu, saya lebih percaya apa yang dikerjakan teman-teman," ujarnya.
Hal serupa disampaikan Direktur SMRC Djayadi Hanan. Menurut dia, kalaupun ada perbedaan, hanya akan terdapat selisih tidak lebih dari satu persen.
"Kami cukup confident ini tidak akan ada perbedaan dengan KPU. Asal perhitungannya properly done, tanpa ada intimidasi," ujarnya.
jadi, kedua berita di atas jelas mengarah kepada provokasi massa yang dilakukan satu pihak. mereka mencoba membuat opini publik agar tidak percaya kepada hasil yang ditetapkan KPU, alhasil, bisa terjadi gelombang massa untuk memprotes hasil pemilu jika hasil suara dari KPU berbeda dengan quickcount yang mereka publish. padahal jelas-jelas mereka berafiliasi ke salah satu pasangan capres/cawapres.
maka hati-hatilah dalam menyikapi isu yang akan timbul kemudian hari.
masa depan bangsa ada di tangan kita semua.
maka hati-hatilah dalam menyikapi isu yang akan timbul kemudian hari.
masa depan bangsa ada di tangan kita semua.
salam persatuan..:)